Cerita Puyang Gana dari suku dayak kalimantan barat

cerita puyang gana hubungan cerita suku dayak dan suku melayu



     Kabupaten Sintang adalah salah satu daerah otonom tingkat II di bawah provinsi Kalimantan Barat. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Sintang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 21.635 km² dan berpenduduk sebesar ± 365.000 jiwa. Kepadatan penduduk 16 jiwa/km2 yang terdiri dari multietnis dengan mayoritas suku Dayak dan Melayu.(by:wikipedia.com)
        Sungai Kapuas di propinsi Kalimantan Barat merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di kalimantan sekaligus di Indonesia. Sungai ini merupakan urat nadi kehidupan rakyat di daerah itu sejak berabad-abad lamanya. Sungai kapuas menghubungkan daerah pedalaman Kalimantan dengan daerah-daerah pesisirnya. Salah satu kota yang terletak di ujung pedalaman sungai Kapuas adalah Kota Sintang.
                         

       Kota Sintang terletak diatas tanah jepitan dua buah sungai. Sebelah kanan dengan sungai Melawi dan sebelah kiri dengan sungai Kapuas. Daerah ini disebut juga daerah Tanjung Puri. Dulunya kota Sintang terletak di seberang kanan hilir sungai Kapuas.

     Nama Sintang pada mulanya menurut istilh/bahasa Dayak atau suku Dayak yang mendiami daerah sungai Kapuas pedalaman, bernama "SENENTANG." Karena sekitar daerah kota itu banyak terdapat anak-anak sungai yang mengalir bentang-mebentang satu dengan yang lainnya.

bicara cerita rakyat pasti tidak ada habis-habisnya dan inilah cerita rakyat yang sangat melegenda di kalimantan khususnya didalam masyarakat suku dayak dan melayu, dayak dan melayu memiliki story yang panjang bahkan ceritanya berhubungan erat, seperti cerita Aji Melayu dan cerita Puyang Gana.

     Daerah Sintang pada mulanya kurang begitu terkenal. Yang terkenal sebenarnya daerah Sepauk. Bahkan lebih terkenal lagi daerah hulu yang bernama gunung "KAJAU." Konon cerita, daerah ini didiami dua orang suami isteri. Kedua orang suami isteri ini mempunyai tujuh orang anak. Sang Bapak bernama SABUNG MENGULUR dan isterinya bernama PUKAT MENGAWANG.
Adapun nama anak-anaknya itu ialah :
  • Puyung Gana
  • Belang Pinggang
  • Suluh Duik
  • Buku Labuk
  • Terentang Temanai
  • Patung Kempat (perempuan)
  • Bui Nasi
       Dari ketujuh anak ini, maka anak yang sulung yaitu Puyung Gana telah meninggal waktu baru saja lahir dari kandungan ibunya. Menurut kepercayaan mereka, Puyung Gana telah berobah menjadi hantu. Walaupun ia telah mati, tapi selalu turut mengetahui dan turut campur dalam kehidupan adik-adiknya. Ia berpribadi yang aneh sekali. Pakaiannya terdiri dari kerumunan moanyeik atau (lebah). Ikat pinggangnya dari ular. Cawatnya dari ular melilit. Alas kakinya dari kura-kura. Tongkatnya seekor biawak. Sugihnya terdiri dari cacing.

     Menurut cerita, perkawinan antara manusia dan makhluk halus pernah terjadi. Dan dari antara ketujuh anak itu, hanyalah Putung Kempat (anak yang perempuan) sajalah yang kawin dengan manusia biasa. Tapi tak disebutkan nama salah seorang kepercayaan orang Dayak, semburan Jubata Air ini selalu mengakibatkan penyakit bangkang mulik, atau penyakit kusta.

       Konon pula di antara ketujuh anak ini ada seorang yang lahir dengan membawa segenggam nasi sebagai bekal hidupnya. Anak itupun langsung diberi nama BUI NASI. Karena sangat sedikit nasi yang dibawanya itu, maka habislah dalam waktu yang sesingkat. Sedangkan Bui Nasi makin besar dan selalu ingin makan nasi, padahal pada waktu itu nasi sebutirpun tak ada lagi. Tiap hari Bui Nasi merengek-rengek minta nasi untuk dimakannya. Akan hal ini maka orang tuanya sangat gelisah dan pikiran bertambah kusut karena kebingungan. Suatu saat dikala kebingungan, maka orang tuanya berusaha dan memohon kepada Jubata Air agar dapat memberikan petunjuk mengatasi persoalan nasi yang selalu dituntut oleh anaknya Bui Nasi. Dan kedua orang tuanya mendapat bisikan, untuk memenuhi kemauan anaknya. Mereka harus rela mengorbankan jiwa raganya. Kedua orang tua itu kemudian mengundang seluruh anaknya untuk merundingkan penentuan permintaan Bui Nasi.

      Setelah berkumpul bapaknya mulai berbicara dengan nada sedih. Iapun tak sampai hati akan mengorbankan hidupnya. Juga ia tidak mau meninggalkan anak-anaknya. Tapi apa boleh buat. Ia harus menyampaikan kepada seluruh anak-anaknya. Maka Sabung Mangulur memerintahkan anak-anaknya untuk membuatkan sebuah Kepok (lumbung padi yang terbuat dari pada kulit kayu). Apabila kepok telah selesai, kami orang tuamu akan masuk kedalamnya. Kemudian kalian menutupi rapat-rapat. Sesudah tujuh hari, barulah dibuka. Pasti kalian akan melihat berbagai macam ragam bibit. Dan jangan lupa bibit-bibit itu harus ditanam semuanya dan kelak akan berguna untuk keturunan kalian pada masa-masa yang akan datang.

     Pesan kedua orang tua kepada ketujuh anaknya itu didengar dan diperhatikan baik-baik. Dan dikerjakan/dilaksanakan oleh semua anak-anaknya. Sesudah tujuh hari, maka anak-anak itu datang melihat dan membuka kepok itu, tempat orang tuanya bersembunyi. Setelah dibuka, maka tampak kedua orang tuanya sudah tidak ada di dalamnya. Yang tampak hanyalah bermacam-macam bibit seperti yang telah dijanjikan oleh kedua orang tuanya sebelum kepok itu dibuat dan ditutup. Mereka menjadi sedih kehilangan orang tuanya, dan sebaliknya juga senang karena mendapat berbagai macam bibit.

       Kemudian kakak beradik ini merundingkan untuk mengapakan bibit-bibit tanaman yang berbagai macam itu. Akhirnya mereka sepakat untuk membuka sebidang tanah yang cukup luas untuk menananmnya dengan bibit-bibit itu. Sementara mereka duduk berunding, masuklah Puyung Gana, minta berbicara. Karena keadaannya yang sangat mengerikan saudara-saudaranya, permohonan Puyung Gana ditolak oleh saudara-saudaranya. Pada waktu itu Puyung Gana meminta tanah bagiannya. Dan tanpa pikir panjang, serta dengan emosi yang meluap-luap, Bui Nasi mengambil segumpal tanah, dan dilemparkan ke Puyung Gana, diikuti dengan kata-kata: "Ambillah tanah ini, dan pergilah dari sini"! Perkataan yang kurang enak didengar ini, digunakan oleh Puyung Gana untuk alasan menguasai seluruh tanah di daerahnya, sampai ke hutan-hutan sekitarnya. Maka Puyung Gana pun gaiblah/menghilang. Karena pertengkaran yang seru ini, lupalah mereka akan membagi tanah pusakanya.

     Keesokan harinya, mereka mulai mengerjakan tanah sesuai dengan pesan orang tuanya. Dan berangkatlah mereka ke hutan untuk menebang kayu-kayu guna membuat ladang. Tampak sekali kegembiraan dalam hati mereka akan hasil pekerjaan menebang hutan itu. Nampak hutan kayu yang telah lapang dan terang. Dan pada sore harinya barulah mereka pulang ke rumah mereka. Kegembiraan selalu memenuhi hati dan pikiran mereka.

     Selesai makan malam berkumpullah mereka kembali di depan rumah panjang. Mereka duduk berunding bagaimana pekerjaan mereka untuk keesokan harinya. Pagi-pagi benar secara beramai-ramai mereka memikul segala alat perlengkapannya untuk meneruskan pekerjaan mengolah ladang. Dan dari kejauhan mereka mencoba menerka-nerka dimana tempat yang telah dikerjakan mereka kemarin. Mereka heran melihatnya. Ada sebagian yang menyangka mungkin salah mendatangi ladang itu. Kemudian timbul perbantahan di antara mereka. Ada diantaranya yang mengatakan bahwa tempat ini tidak salah. Karena bekas-bekas jejak masih ada. Akhirnya diselidiki secara cermat dan ternyata tempat itu adalah yang telah ditebang pohon-pohonnya kemarin. Timbullah pertanyaan di dalam hati mereka semua. "Kenapa pokok-pokok kayu yang telah ditebang kemarin itu, kini telah tumbuh berdiri kembali!" Keadaan telah kembali semula.

      Kembali menjadi hutan rimba. Segala kayu telah berdiri, bersambung, namun demikian tidak mengecewakan mereka. Dan tanpa banyak bicara, ramai-ramai mereka mengayunkan kampak untuk menebang pokok-pokok kayu itu kembali. Bunyi kampak dan derunya kayu-kayu yang tumbang menambah keramaian dalam hutan itu. Dan kayu-kayu itu telah tumbang semuanya. Sementara itu, hari telah sore, dan mereka pun pulang ke rumah panjang mereka. Mereka menjadi senang kembali, karena usaha menebang kayu-kayu itu telah selesai semuanya. Keesokan harinya mereka kembali melihat dan akan meneruskan pekerjaan. Dan dari jauh mereka mengamati tempat yang dikerjakan kemarin itu. Ternyata keadaan pohon-pohon itu telah tumbuh kembali. Dan tanpa banyak bicara, serta banyak pertimbangan, mereka kembali menebang pohon-pohon itu. Pada sore hari, mereka kembali pulang. Keesokan harinya mereka datang, dan didapatinya keadaan seperti sediakala. Akhirnya mereka duduk berunding. Mereka ingin mengetahui apa sebabnya dan bagaiamana caranya untuk mengatasinya. Mereka tetap ingin mengerjakan ladang sesuai dengan pesan kedua orang tua mereka yang kini telah berubah menjadi berbagai macam bibit.

    Selain itu mereka bersepakat agar ada giliran menjaga ladang diantara mereka. Kini mereka bekerja lebih giat dari pada hari-hari sebelumnya. Mereka kini mulai bergiliran jaga. Tugas dari yang menjaga ialah mempelajari siapa yang melakukan perbuatan yang aneh dan luar biasa itu. Untuk giliran pertama, yang menjaga ialah si Buku Labu. Sengaja mereka menunjuknya, karena ia seorang yang tak berkaki dan tak bertangan. Maksudnya supaya ia tak boleh lari bila menemui sesuatu yang menakutkan. Ia harus tetap menyaksikan segala sesuatu yang terjadi seperti yang dialami mereka selama ini. Dan perhitungan mereka ini sangat tepat sekali. Pada malam yang pekat, gelap gulita, tiba-tiba datanglah suara yang sangat dahsyat. Suara itu membuat Buku Labu sangat terkejut. Serasa mau terbang dari tempat itu. Tapi apa daya mau merayap, tak bertangan, mau lari tak berkaki. Terpaksa semangat dihidupkan untuk mengatasi ketakutan yang mencekam di malam yang gelap itu. Ia hanya mempasrahkan diri. Menunggu apa saja yang akan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara yang lebih menakutkan lagi. "Kas mengkaras, bersambung segala raras"! Mengikuti suara ini, nampak jelas pokok-pokok kayu yang telah ditebang oleh mereka itu mulai berdiri dan bersambung kembali seperti biasanya. Perkataan ini berulang-ulang hingga menjelang pagi.

     Dan pada pagi harinya mereka itu datang. Mereka akan meneruskan pekerjaan ladangnya. Dan jauh mereka melihat bahwa peristiwa yang lalu, telah berulang kembali. Kejadian ini tidak pernah mengecewakan mereka. Bahkan sesama mereka berkata bibit sudah tersedia, apa guna kita menghentikan usaha ini. Bukankah kalau sampai berhasil, akan memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk anak cucu kita kelak. Ayolah kita teruskan, ucap salah seorang di antara kakak beradik itu. Maka mereka mulai bekerja dengan giat lagi. Semangat bekerja lebih berapi-api. Di sore hari mereka harus pulang. Giliran terakhir, Bui Nasi yang harus menunggui. Bui Nasi menunggu datangnya malam dengan hati yang berdebar-debar. Apakah ia sanggup bertahan atau tidak. Dan ia mulai menguatkan batinnya dengan berdoa. Bagi Bui Nasi, walaupun apa yang akan terjadi, ia akan melawannya. Dan dalam perlawanan itu, ia berusaha untuk menang. Hari makin gelap. Bui Nasi merasa ngantuk dan ia memejamkan matanya sebentar. Tapi hati Bui Nasi berperang antara kantuk dan tugas. Makin gelap suasana di ladang itu, Bui Nasi menjadi semakin cemas. Tiba-tiba terdengarlah suara yang benar-benar dahsyat. Tapi Bui Nasi tidak takut. Malahan ia marah dan mau mengejar suara yang datang itu. Tanpa diduga-duga, ia berhadapan langsung dengan seorang yang berbadan hitam dan tinggi kekar.

    Maka terjadilah suatu pertarungan sengit antara kedua makhluk itu. Segala tenaga gaib dan kesaktian yang dimiliki oleh Bui Nasi dikerahkan untuk menaklukan lawannya itu. Sampai dengan akhir pertarungan, tidak dapat dipastikan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Masing-masing ingin istirahat. Detik-detik istirahat itulah Puyung Gana mengucapkan kata-kata ingin berdamai. Ia menyatakan dirinya bukanlah orang lain. Ialah kakak yang sulung dari ketujuh kakak beradik itu. Ialah yang bernama Puyung Gana. Dia menyatakan bahwa ialah yang juga berhak memiliki pembagian harta terutama pembagian tanah. Ia mengusulkan agar jangan ia ditolak. Jika kalian menolak saya, tidak akan saya memberikan kalian kesempatan untuk membuka ladang dimanapun juga. Puyung Gana memperingatkan, perbuatan melemparkan segumpal tanah dimasa yang lalu. Melemparkan tanah segumpal, baginya telah dijadikan alasan untuk menguasai seluruh tanah. Jadi siapa saja yang akan membuka ladang, harus meminta izin kepada Puyung Gana. Segala perkataan yang diucapkan Puyung Gana, diikuti dan diingat baik-baik oleh Bui Nasi. Dan kini Bui Nasi sadar akan perbuatannya di masa yang lampau. Dialah yang melemparka segumpal tanah kepada kakaknya Puyung Gana. Maka kini setelah keduanya bertemu, Bui Nasi mengakui kesalahannya dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut: "Puyung Gana, mulai sekarang ini kami akui engkau sebagai kakak kami yang tertua dan sejati."! Sementara itu ia juga bertanya: "Bagaimana juga caranya supaya mengerjakan ladang dengan mudah?"

      Kemudian Puyung Gana sebagai kakak yang tertua menjelaskan sebagai berikut. Katanya: "Harus memperhatikan tiga gugusan bintang." Ketiga gugusan itu adalah sebagai berikut : Bintang tiga tanda mulai mengerjakan ladang. Bintang Lima tanda musim menebang kayu. Dan bintang empat tanda padi dilanda bencana. Mungkin babi, mungkin juga hama. Dan sampai kini penduduk daerah Sintang masih tetap mempercayai tanda-tanda alam ini. Melihat bintang pertama, itu bukan berarti terus langsung membuka ladang. Tapi sebelum membuka ladang harus mengadakan upacara adat terlebih dahulu. Adakan korban, memohon izin kepada rokh-rokh halus. Rokh halus ialah Puyung Gana sendiri. Bahan-bahan untuk korban juga telah digariskan oleh Puyung Gana sendiri. Adapun bahan-bahan itu ialah :
  1. Tujuh buah tajau emas
  2. Tujuh lungkung besi
  3. Tujuh telor ayam
  4. Tujuh ekor babi.
Bahan-bahan itu merupakan suatu peraturan yang mengejutkan Bui Nasi. Dengan spontan Bui Nasi mengucapkan kata-kata tidak sanggup. Ke tidak sanggupan Bui Nasi cukup dimengerti juga oleh Puyung Gana. Kemudian kata Puyung Gana. Syarat-syarat ini bukanlah yang sebenar-benarnya. Saya akan berikan keringanan gantinya antara lain:
  1. Tujuh buah tajau emas diganti dengan tujuh buah kerabung/kerubung (kulit) telur ayam, diisi dengan beras kuning.
  2. Tujuh lungkung besi yang harusnya tombak, diganti dengan paku atau bahan besi lainnya.
  3. Ayam cukup seekor
  4. Babi cukup seekor saja
      Seluruh persyaratan ini harus diletakkan berjejer, teratur rapih. Korban ini disebut "persembahan pangkal benih." Untuk meletakkan pangkal benih, penting sekali mendengar bunyi burung. Jika telah mendengar bunyi burung itu suatu tanda yang baik, dan nanti setelah tiga hari saja Puyung Gana akan muncul. Apabila kamu melihat saya berpakaian lengkap seperti biasanya, berarti kamu harus memberi "pendrek" (sajian). Meminta izin dan harus memberikan makanan untuk Puyung Gana. Ini suatu pertanda kamu akan mendapat panen yang memuaskan. Sesudah panen, jangan lupa harus mengadakan pengucapan syukur. Pesta Ucapan Syukur. Hingga sekarang suku-bangsa ini selalu mengadakan pesta ucapan syukur yang hebat. Adakalanya sampai menghabiskan semua hasil panennya. Pesta adat ini dalam bahasa daerah disebut "Pesta Adat/gawai adat Ngumpat Batu Nyapat Tahun."

      Anjuran-anjuran  Puyung Gana, diperhatikan semuanya dan dikerjakan oleh anak-anak itu dengan penuh keyakinan. Karena telah dikerjakan dengan sebenarnya, akhirnya mereka telah mendapat hasil yang luar biasa banyaknya. Maka diadakan pesta tujuh hari tujuh malam. Sementara mereka dalam suasana kegembiraan yang luar biasa ini, turunlah mereka mandi kesungai. Dan bersimburanlah dengan air anak-anak itu. Adat sekarang masih berlaku pada suku ini.

itu mengapa masyarakat adat terutama masyarakat adat dayak yang mayoritas petani berladang, selalu mengadakan upacara sengkelan padi / pangkal benih / minta izin kepada Puyang Gana, sebelum memulai membuka ladang baru, dan mengadakan pesta tutup tahun atau gawai adat sebagai ucapan syukur atas hasil panen. dan samppai sekarang adat ini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat-masyarakat adat di sana.

cerita turun temurun Sabung Mengulunr dan istrinya Pukat Mengawang, dari cerita Puyang Gana, Bui Nasi, sampai Aji Melayu sambung-menyambung dan memiliki banyak versi didalam masing-masing suku disana akan tetapi pada inti ceritanya hampir sama, di postingan berikutnya adalah kelanjutan cerita dari Puyang Gana yaitu cerita: Patung Kempat (perempuan) dan Aji Melayu.

untuk membaca ceritanya silahkan klik:Patung Kempat (perempuan) dan Aji Melayu.


sumber:cerita rakyat turun-temurun dan dari"bunga rampai, cerita rakyat kalimantan Barat"

Related Posts

Cerita Puyang Gana dari suku dayak kalimantan barat
4/ 5
Oleh
4 Komentar untuk "Cerita Puyang Gana dari suku dayak kalimantan barat"

Semoga anda suka😂

mantap ini, ane lagi disuruh nyari certia rakyat gan buat diceritain kembali... thanks

Pernah belajar tentang cerita Rakyat ini saat SMP

Di sarawak disebut Simpulang Gana.